Anak dan Gadget

“Didiklah anakmu sesuai dengan jamannya, karena mereka hidup bukan di jamanmu” itulah quote terkenal dari Ali Bin Abi Thalib RA, salah satu sahabat Rasulullah SAW. Mendidik anak merupakan amanah dari Tuhan yang harus dijalankan dengan baik. Apalagi mendidik mereka di era digital ini tentu banyak sekali tantangannya. 

Rumah Simbah

Ada rasa haru ketika kakiku berdiri di sebuah rumah yang berada di tepi jalan raya dan menghadap sawah itu.

Yang Unik di Kawasaki

Oke, saya akan menulis jalan-jalan pada hari Sabtu ketiga bulan April di daerah Kawasaki. Sebelum jalan-jalan, saya dan suami biasa melakukan ritual googling mencari event dan tempat yang asyik untuk dikunjungi. Jadi, tidak sekedar jalan melihat taman atau museum saja tetapi kita juga melihat kegiatan yang sedang berlangsung. Seru lho kalau seperti ini soalnya selain daerah jajahan bertambah, tentu saja kita ikut dalam kemeriahan acaranya.

Kami pergi ke Kawasaki Daishi, yaitu salah satu daerah yang ada di Kawasaki. Tempat ini mempunyai kuil dan taman yang cantik. Pada waktu kami ke sana, bertepatan dengan acara Music Festival yang digelar secara rutin setiap tahun. Tahun ini memasuki festival yang ke-10.

Untuk sampai ke sana, tentunya kami naik kereta ke Sta.Kawasaki kemudian perjalanan bisa dilanjutkan dengan bis atau kereta lokal menuju Kawasaki Daishi. Berhubung di shuttle bis semua berhuruf Jepang dan takut kesasar akhirnya kami memilih naik kereta lokal dari St.Keikyu Kawasaki. Stasiun ini letaknya tidak jauh dari St.Kawasaki, tinggal menyebrang saja.

Tempat di Jepang memang unik, semakin terletak di daerah pinggiran, maka semakin kecil pula tulisan berhuruf biasa atau berbahasa Inggris. Hal ini juga terjadi ketika di St.Keikyu Kawasaki. Untuk mengakalinya kami mencocokkan huruf 'Kawasaki Daishi' pada peta dengan huruf kanji yang terpampang di dinding stasiun. Cara ini untuk mengetahui berapa uang yang dikeluarkan untuk membeli tiket. Atau bisa juga bertanya kepada petugas yang sedang piket. 

Kami naik kereta Keikyu Daishi Line yang ada di line 3.  Tak butuh waktu lama karena Kawasaki Daishi hanya berjarak 3 stasiun dari Keikyu Kawasaki.

St.Kawasaki Daishi

Kawasaki tergolong kota yang kecil. Sepanjang jalan menuju kuil yang kami temui berjejer deretan toko yang menjual suvenir dan makanan. Kami akan ke Heikenji Temple dan Daishi Park karena letaknya berdekatan. 

Heikenji temple adalah salah satu kuil Budha yang ada di Daerah Kanto. Kuil ini dipercaya sebagai tempat untuk menolak bala dan mendatangkan kebahagiaan. Bangunannya unik dan ada lampion cukup besar di pintu gerbangnya. Penjual makanan yang ada di sekitarnya juga terkenal akan kue dan permennya yang enak.



Lampion di Gerbang

#Daishi Park

Letak taman ini ada di belakang Heikenji Temple. Tamannya cukup luas karena ada lapangan tenis, baseball, kolam, dll. Menurut mbah google, di Daishi Park ternyata ada taman lagi namanya Shinshu-En, yang merupakan miniatur taman-taman di China. Sayang, kami tidak mampir ke sana waktu itu karena buru-buru. Sedih? Pasti. Tapi kami cukup terhibur dengan berbagai atraksi di taman ini.

Di Daishi Park ada panggung utama untuk acara musik dan tari kemudian di sekitarnya ada stand makanan serta puluhan stand yang memajang berbagai benda-benda khasnya. Saya yang semula underestimate untuk acara ini ternyata kagum.

Perpaduan tradisonal dan modern begitu kental di acara ini. Acara dibuka dengan sambutan dan iringan orang yang membawa patung atau sesajen. Mereka berjalan ke kiri dan kanan lalu ke belakang dengan hitungan dan aba-aba peluit dari pemimpin. Bajunya khas Jepang, baik laki-laki maupun wanita sama. Mereka memakai atasan abu-abau yang berlengan lebar dan bercelana pendek warna putih, serta memakai sepatu putih tipis khas Jepang. Mereka berarak dari taman menuju Heikenji Temple dan finish di taman lagi.


Arak-arakan Pembukaan


Setelah Finish


Acara dilanjutkan dengan tarian dan pertunjukan musik. Kalau untuk tarian, umumnya anak muda Jepang itu American minded, mereka menyukai musik hip hop dan melakukan break dance.


Anak-anak Menari Hip Hop

Keramaian juga tampak dari berbagai stand yang ada. Yang menarik di stand-stand ini, semua pengunjung terutama anak-anak bisa mencoba barang-barang yang dipamerkan. Sebut saja stand permainan tradisional, pengenalan hewan, simulasi pengenalan gempa, bahkan mereka juga bisa merasakan menjadi seorang pemadam kebakaran. Dengan cara ini, anak-anak akan dikenalkan tentang hal-hal di sekitar mereka dan pengenalan profesi atau cita-cita sedini mungkin.

Pengenalan Hewan 




Permainan Tradisional


Mencoba Sebagai Damkar

Tak hanya itu saja, di stand robot, para pengunjung juga dapat menjajal prototipe yang ada. Bahkan pameran mobil dan motor antik juga engga mau kalah, mereka pamer gagahnya mobil dan motor tua yang masih mereka rawat dengan baik. Asyiknya lagi, komunitas manga yang umumnya anak muda memakai kostum manga yang unik. Mereka berpencar di taman dan menghibur pengunjung terutama anak-anak. Terlihat anak-anak antusias sekali dengan kehadiran mereka, termasuk saya dan suami. Jarang-jarang kan di negri sendiri menemukan yang seperti ini.

Bermain Robot
 


Deretan Mobil Kuno

Di taman ini baik tua maupun muda mereka semua bergembira. Semua berkumpul jadi satu memberi hiburan yang berbeda-beda. Tak hanya sekedar hiburan, sebenarnya ada unsur pendidikan yang terselip terutama untuk anak-anak.  

Setelah cukup puas di Daishi Park, kami melanjutkan perjalanan ke Museum Doraemon. Ceritanya ada di sini. Engga kalah seru lho karena kami belum memesan tiket, jadi agak terburu-buru.

Museum Doraemon di Kawasaki

Hayooo siapa yang enggak kenal doraemon?

Enaknya Sushi di Pasar Tsukiji, Jepang

Siapa yang suka makan sushi? Tinggal di Jepang kalau belum menyicipi segarnya sushi di Pasar Tsukiji tentu belum afdol dong. Jalan-jalan ke pasar Tsukiji memang telah kami rencanakan sebelumnya. Rencananya, kami akan melihat proses pelelangan ikan di pasar yang tersohor itu.

Kenangan di Asakusa-Tokyo

Ramainya Asakusa, Sumida River, dan Tokyo Sky Tree saat musim semi tiba. Semua berkumpul dan menikmati hangatnya musim semi dan indahnya sakura.

Sumida River
Ramainya di Taman Sky Tree




Ada Rindu di Pasar

Engga salah itu judulnya? Masak rindu dengan pasar? Apa tidak ada tempat lain yang lebih bagus?

Tahun Bebas KPR

Tidak seperti keluarga muda lainnya yang lebih suka tinggal di komplek, saya dan suami memilih tinggal di kampung. Alasannya karena kami bisa memiliki tanah yang agak lapang. Alhamdulillah kami bisa memilikinya dan untuk membangunnya memang butuh usaha yang luar biasa. Kami benar-benar merasakan betapa susahnya untuk memiliki sebuah rumah meski itu semua kami lakukan dengan KPR.

Masakan Indonesia di Jepang

Masakan Indonesia salah satu yang paling saya kangeni di sini. Maklum, lidah tidak bisa lepas dari makanan dan bumbu negeri sendiri. Masakan atau makanan ndeso justru yang paling bikin kangen seperti ikan asin, sambal terasi, tempe, tumis oncom-leunca yang pedas, dan tumis kangkung pakai tempe busuk. Masakan atau makanan tersebut menurut saya justru Indonesia banget.

Ketika bilang ke suami kalau saya kangen dengan hal-hal tadi, suami mengajak saya ke restoran yang menjual masakan Indonesia, Restoran Surabaya namanya. Karena saya tinggal di Yokohama, baru tempat itu yang saya ketahui sebab berada di lantai 5 World Porter, mall yang tidak jauh dari arena Cosmo World, tepatnya di daerah Sakuragicho. Saya naik kereta dari Sta.Kannai ke Sta.Sakuragicho seorang diri karena janjian dengan suami. Beliau dari kantor tinggal jalan kaki ke stasiun tersebut.

Dari Sta.Sakuragicho menuju ke World Porter cukup berjalan kaki sekitar 5-10 menit. Kami menikmati jalan-jalan sore tersebut sambil melihat bunga sakura yang ada di taman, melewati Cosmo World, dan berfoto di taman sekitar area Pacifico yang dekat dengan laut.


Arena Cosmo World



Restoran Surabaya ini ternyata milik orang Jepang, tetapi chef dan pegawainya orang Indonesia. Selain di Yokohama, restoran ini mempunyai cabang yang lumayan banyak antara lain di daerah Odaiba, Chofu, Urawa, dan Kouhoku. 

Bentuk bangunan luarnya cukup menarik dengan ornamen patung Bali. Restoran ini cukup besar. Saat masuk kami disambut dengan iringan musik Bali yang khas. Wah, serasa di Indonesia. Penataan ruangnya pun cukup bagus, simple, dengan kursi dan meja kayu khas Indonesia.
Pengunjung yang datang kebanyakan orang dewasa yang baru pulang kerja (karena kami ke sana hari Jumat). Sepertinya anak muda Jepang jarang yang datang ke sini.

Masalah harga jangan ditanya, pastilah jauh dibandingkan di negeri asalnya. Memang, kalau urusan makan di sini, jangan dikurskan, nanti malah engga menikmati makanannya lho. Waktu itu saya pesan mie ayam dan tempe goreng. Suami pesan sop buntut. Untuk penyajiannya sudah beradaptasi dengan Jepang yakni ketika pengunjung duduk tak lama kemudian diberi suguhan air es. Lumayanlah untuk pengiritan karena kami tidak perlu memesan minuman.

Porsi mie ayamnya besar ditambah bakso ayam sebanyak 3-4 butir. Karena besar, mie ayam bisa dimakan oleh dua orang. Sedangkan tempe gorengnya satu porsi isi enam ditambah sambal dabu-dabu. Kalau sop buntut porsinya kecil.

Harga Mie Ayamnya Jika Dikurskan Bikin Emosi :)

Tempe Goreng

Urusan rasa, jelas masih mantap masakan aslinya. Menurut saya, bumbunya kurang nendang, masakannya kurang panas, sambalnya kurang pedas, dan sambalnya dingin. Tempenya rasanya aneh, kebanyakan tepung, jadi kurang terasa. Untuk mengobati kerinduan akan masakan Indonesia, restoran ini cukup memuaskan. Bagaimanapun, yang asli tidak pernah bohong hehe. Saya cinta masakan Indonesia.

Hanami di Taman Ueno

Tidak lengkap rasanya kalau di Jepang belum melihat bunga sakura yang menjadi simbol negri ini.

Keliling Jepang dengan JR Kanto Area Pass # 3

Ini cerita kami di hari ketiga atau terakhir memakai JR Kanto Pass. Hari Minggu tanggal 23 Maret kami putuskan untuk pergi berdua, tanpa F (teman suami) karena doi mau main ski di Gala Yuzawa.

Keliling Jepang dengan JR Kanto Area Pass # 2

Nah, di hari kedua ini (Sabtu) agak lebih santai. Saya dan suami bangun jam 4 pagi, karena ingat temannya mau berangkat jam 5. Sebenarnya saya sudah siap tuk sarapan karena malam sebelumnya udah masak nasi. Tapi kok suami gak gerak ya, badannya sakit semua, terutama bagian kaki dan bahu. Ya sudah, saya diamkan saja, kasian melihatnya dan kami sepakat untuk berpisah dengan temannya.

Betul, jam 5 lebih 5 menit, ada bel bunyi, temannya udah ngajakin berangkat, sedang kami masih santai aja. Kami atur rencana lagi. Saya intrograsi suami hasil browsingan semalam, beliau bilang ke Nikko aja.

Beliau kayakna terhipnotis dengan bujukan temannya yang tinggal di sini. Saya sih cuma memakmumi saja, nurut. Karena bahu pegel dan kaku, maka jalan-jalan kali ini menggunakan koper. Gak salah tuh? Enggaklah, secara orang Jepang juga banyak yang membawa koper digledek. Lagipula tas kami tu ransel, cuma ada gledekannya, jadi bisa dipake di bahu atau ditarik kayak koper.

Ya sudah, jam 6 berangkat, rute perjalanannya Kannai-Tokyo-Utsunomiya-Nikko. Kami naik Shinkansen dari Tokyo ke Utsunomiya. Alamaaak senangnya hatiku karena yang kutunggu-tunggu datang, naik shinkansen. Setelah berburu tiket shinkansen dan sempat salah loket *gak papa yang penting nyampe, kami disuruh ke line 21. Gilak ya booo sta Tokyo guedhe buanget secara linenya aja sampe puluhan dan kalo di Tokyo itu, ruameeeee buanget, banyak orang jalannya cepet, saya kalo mau belok kadang terbawa arus *lebay. Padahal ini kali kedua saya ke sta Tokyo.

Sampai di line 21, saya kebelet pipis, ya sudah kami berdua turun lagi dan cepet-cepet naik ke atas. Shinkansen sudah menunggu. Shinkansen itu ada banyak nama. Satu nama aja bentuknya beda-beda, dalamnya juga. Ada petugas di luar gerbong yang menyambut. Shinkansen berangkatnya tepat waktu. Pelan dan halus sekali kereta mulai bergerak, makin lama makin cepat.

Kereta yang kami tumpangi Shinkansen Yamabiko jurusan Tokyo-Utsunomiya (saya kurang tau pemberhentian sta terakhir dimana). Suasananya sangat nyaman. Uenaknya naik shinkansen, cepat banget karena kecepatannya 300 km/jam, alus, telinga juga gak gembrebeg pas lewat terowongan, gak nyesel deh pokoknya. Takjub saya. Legaaa, yuk ngemil dulu. Pas mau minum loh kog botol minumnya gak ada? Lah, kemana yah? Setelah diingat-ingat ternyata ketinggalan pas di toilet, ya sudah relakan saja.


Shinkansen dan Koperku




Bagian dalamnya

Gak cuma itu aja, fasilitasnya ternyata komplit banget, saya sempatkan untuk mendokumentasikannya. Bahkan baby bed ada, dan hebatnya lagi mereka juga memperhatikan kebutuhan para disabilitas. Keren ya!


Fasilitas di dalamnya

Setelah 45 menit, kami sampai di Utsunomiya. Kami cuma transit saja karena untuk ke Nikko kami naik kereta lokal. Kalau naik kereta lokal apalagi di kota-kota kecil, biasanya tidak ada layar yang menunjukkan destinasinya. Tapi jangan khawatir, petugasnya pasti ngasih info kog, tujuan selanjutnya mana dan kita ada di mana, pake bahasa Jepang pastinya. Ketika di kereta lokal tersebut kami tiduran sebentar dengan tenang karena Nikko merupakan stasiun tujuan yang terakhir.

Sampailah di Nikko. Begitu keluar sta, dinginnyaaa. Ternyata masih ada salju lho di Nikko. Kami lihat ke depan kog banyak orang pada ngantri di halte ya? Kami pun ikut-ikutan. Ternyata bisnya sudah penuh, padahal kami juga tidak tau bis itu mau kemana *gludak. Nah, daripada bingung, kami makan roti dulu, foto-foto dulu *sodorin kamera dan hasilnya 

Kami putuskan untuk jalan kaki saja. Lha mana air terjunnya? Mana danaunya? Kog cuma toko-toko doang di sini *bingung.

Setelah jalan kaki gak jauh dari sta, kami menemukan tourist information yang ramenyaaa. Banyak turis dari India, Cina, bule juga ada. Mau yang mana? *halah opo to iki. Setelah dikasih tau, ternyata untuk sampai ke air terjun dan danau harus naik bis.
Di tourist information tersebut, kita bisa membeli tiket bis juga. Kami bingung. Semua tulisan Jepang dan angka nominal dalam yen. Ya sudah, kami memilih harga termurah yakni 1.000 yen per orang, katanya bisa turun/naik di halte mana saja dan balik kapan saja. Dalam hati, murah bener. Setelah itu, kami antre di halte.

Selama perjalanan kog ada orang yang turun, pikir saya kog pak sopir tau? Ternyata ada bel di atas tempat duduk *eeeeaaa keliatan ndesone.


Itu Belnya

Lebih enaknya lagi, layar di dekat pak sopir yang memberitahukan next destination ada yang berbahasa Inggris, jadi kami tau nanti mau turun dimana. Jalan yang kami lalui naik turun, berlikuk-likuk, mana saya duduknya pojok, paling belakang, pusing deh!
Sepanjang jalan, kami dimanjakan dengan pemandangan salju dan gunung salju. Selain itu juga pohon yang meranggas. Hal ini membuat saya antara senang, pusing, dan ngantuk. Campur-campur pokoknya.

Tujuan kami di Nikko untuk melihat daerah Chuzenji, yang terkenal dengan air terjun dan danaunya. Setelah sampai, pemandangannya bagus sih tapi sayang air terjunnya masih kelihatan sedikit beku. Untuk melihat dari dekat bisa naik elevator. Karena masih belum bagus banget secara banyak pohon meranggas, kami urung naik, alesan biar irit. Kami foto-foto di situ, ke toko souvenir, dan maksi di situ. Tentunya kami maksi dengan bekal yang dibawa dari rumah, irit tauk. Eh tapi kami beli sayur juga lho di sana, lumayan untuk penghangat tubuh. Harganya 1 mangkok kecil stereofom 300 yen.


Air Terjun Chuzenji


Pemandangan di Sekitarnya


Setelah itu kami ke Danau Chuzenji. Bagus banget danaunya. Airnya biru dengan latar belakang gunung salju. Udara di sini dingin, yang engga nguatin sih anginnya, kenceng banget.


Danau Chuzenji


Setelah puas, kami berencana ingin ke daerah yang lebih tinggi lagi. Meluncurlah kami ke halte. Bis yang mau naik ke atas datang. Kamipun naik dan ternyata setelah menunjukkan tiket, kami dilarang naik. Kamipun ngotot tetep mau naik. Selidik punya selidik ternyata tiket kami hanya untuk berkeliling maksimal di daerah Chuzenji saja, jadi kalo mau ke atas lagi engga bisa tapi kalo daerah di bawahnya boleh.
Pantesan kami semula berpikir kog murah banget cuma 1000 yen bisa keliling ke wilayah gunung yang naik turun dengan kategori all pass. Ternyata engga toh. Pantesan tadi pas beli tiket, ada beberapa daftar harga yang tertera. Oalaaaaah terjawab sudah di sini.

Karena bis yang turun masih 15 menit lagi, kami pun berkeliling sepanjang danau dengan suara koper yang gledekan. Meski gaduh, cuek aja karena kami engga capek. Setelah itu pulang deh naik bis. Untungnya pak sopir baik, beliau menerangkan kanan kiri jalan meski bingung karena pake bahasa Jepang. Kami menikmati saja layaknya penggembira. Dan yang lebih asyiknya lagi, sensasi waktu bisnya di turunan atau menikung tajam, kayak naik roller coaster. Penumpang yang lain juga sempat teriak-teriak kecil. Seruuu.

Pemandangan dari Dalam Bis

Dari Chuzenji, kami turun di Nishisando. Di sini ada kumpulan kuil yang termasuk dalam area kuno. Kami tidak masuk ke Toshogu Shrine karena bayar *males banget haha. Suasana di sini adem banget karena banyak pohon-pohon besar. Yang pasti udaranya seger banget, air selokannya aja jernih.

Kami jalan saja mengikuti alur yang ada hingga sampailah di Shinkyo Bridge. Setelah itu kami mampir ke toko souvenir tapi engga ada yang pas di mata dan di kantong. Ya sudah kami pulang naik bis sampai di Sta Nikko. Arah pulangnya dari Nikko-Utsunomiya pake kereta lokal, lalu Utsunomiya-Tokyo pake shinkansen, Tokyo-Kannai pake kereta lokal yang Keihin-Tohoku Line atau Negishi Line.

Yang unik kereta shinkansen dari Utsunomiya ke Tokyo namanya sama dengan shinkansen waktu kami berangkat yakni Yamabiko tetapi bentuk luarnya dan bagian dalamnya berbeda.


Shinkansen Yamabiko Waktu Pulang


Kami pulang ke apartemen dengan senang karena gak terlalu capek dan puas. What next?

Keliling Jepang dengan JR Kanto Area Pass # 1

Tanggal 21-23 Maret kemarin Jepang lagi libur panjang, ya gak panjang-panjang banget sih ya.