Rumah Simbah

Ada rasa haru ketika kakiku berdiri di sebuah rumah yang berada di tepi jalan raya dan menghadap sawah itu.

Pintu kayu terbuka sedikit dan berderit ketika coba kulebarkan. Ada Om Budi yang sedang duduk menonton televisi. Kerabat dan tetangga sebelah itulah yang menjaga dan merawat rumah simbah sejak ditinggal pergi si empunya.

''Sugeng ndalu, Om,'' sapaku.

''Ee..keluarga Semarang sampun rawuh. Pripun kabare?'' jawab Om Budi seraya bersalaman dan mempersilakan duduk.

Aku tidak langsung mengiyakan tetapi kubiarkan mataku menatap sekeliling ruangan tanpa memedulikan adik dan suamiku mengangkut barang-barang bawaan dari mobil. Terakhir aku datang ke rumah simbah sekitar lebaran dua tahun lalu. Sudah lama ternyata. Memang, sejak menikah aku harus pandai berbagi waktu untuk keluargaku dan keluarga suami, dan seringnya yang kukorbankan saat keluargaku berkunjung ke rumah simbah di Yogyakarta. Ada rasa kangen yang tiba-tiba menyelinap di hatiku.

Rumah simbah terbilang cukup lapang. Halamannya bisa memuat dua mobil dari Semarang dan Bandung, daerah rantau anak-anaknya. Ruang tamunya lebih tinggi dibanding ruang lainnya. Uniknya, tidak ada bangunan yang berbentuk kamar untuk tidur, hanya sekat dari kayu atau sketsel yang menandakan itu adalah ruang untuk beristirahat.

Rumah Simbah

Rumah yang lantainya dari campuran pasir dan semen itu sekarang sudah dikeramik meski hanya di bagian teras dan ruang tamunya saja. Foto simbah yang menempel di dinding masih terlihat, mengingatkan kepada siapa saja tentang si empunya rumah. Ketika memandang foto itu, dalam hati aku bergumam,

''Mbah, pripun kabare? Cucumu datang nih. Besok kita ketemu, Ya Mbah. Kula kangen.''
 
Ah, hampir saja butir bening di kelopak mataku menetes. Langsung saja aku menyekanya dan berbaur dengan ibuku di dapur.

Aku melewati ruangan yang dipisahkan dengan pintu kayu, ruang tengah antara dapur dan ruang tamu. Ketika menengok ke kanan, aku membatin diisi apa ya gudang di sana sekarang? Dulu simbah putri menyimpan hasil panen dan belanjaan di sana.

Dapur simbah masih memakai kayu, tidak berubah dari dulu. Ada meja dan kursi kecil di pojokan, tempat simbah kakung ngeteh dan merokok. Ada juga meja dan kursi panjang yang membelakangi tungku, tempat simbah kakung dhahar (makan). Kalau untuk yang lain, makannya tidak di meja makan tapi di tempat berbentuk persegi yang terbuat dari pasir dan semen, beralas tikar. Tempat itu tingginya sekitar 30 cm dari lantai dan ukurannya cukup besar. Saat makan, semua anak dan cucu simbah berkumpul di situ sambil duduk bersila mengitari hidangan yang disajikan di tengah. Makan muluk (tanpa sendok dan garpu) bersama-sama dan saling bercerita atau berebut lauk, rasanya seru sekali.

Biasanya, tempat tersebut akan beralih fungsi menjadi tempat tidur setelah makan malam. Tinggal diberi tikar lagi dan kasur, jadilah tempat tidur rame-rame.

Aku duduk di pinggir tempat makan itu. Sambil melepas penat, kubiarkan pikiranku berlari ke masa kecilku. Dulu, waktu aku masih kecil, simbah putri sering bercerita atau bernyanyi ala pemain ketoprak di depan anak dan cucunya. Suatu kali simbah menceritakan tentang pahitnya zaman penjajahan, kadang juga bercerita enggak jelas yang dikarang beliau sendiri.

Aku tak peduli pada isi ceritanya. Yang kuingat saat itu cara simbah melucu. Gerak tubuh simbah yang berjoget dan bernyanyi memonyongkan bibir sukses mengocok perut anak dan cucu sampai terbahak-bahak. Tertawanya bulikku sangat kencang sampai-sampai tetangga mendengarnya. Hal ini kami ketahui esok hari, ketika bermaafan keliling kampung. Tetangga tersebut akan bertanya, semalam cerita apa kok tertawanya terdengar sampai rumahnya.

Kerianganku berlibur di rumah simbah bertambah karena di masa itu aku masih bisa melihat kunang-kunang menerangi sawah di depan rumah simbah. Indah sekali. Sayapnya yang bercahaya menari-nari mengitari rumpun padi. Hewan-hewan itu bak primadona malam. Sayang, kunang-kunang sekarang tak bisa lagi dijumpai. Entah kemana sekarang mereka pergi, mengepakkan sayap cahaya mencari tempat yang layak untuk huni.


Sawah Depan Rumah Simbah


Pemandangan di Area Sawah Lainnya

Ajakan ibuku untuk makan malam membuyarkan lamunanku.

''Nok, enggak maem? Tuh suaminya disiapin makan,dong,'' begitu kira-kira ajakan ibuku dalam Bahasa Jawa yang kental.

''He..em. Buk, sekarang rumah ini sepi ya. Dulu kalau lebaran semua tumplek blek kumpul jadi satu, sekarang sepertinya susah, Ya Buk,'' jawabku kepada ibu yang sedang makan.

''Lha kan bulik sebelum puasa sudah ke sini, ikut nyadran,'' kata ibuku sambil mengunyah makanan.

Memang, sejak simbah sudah pergi semua, rumahnya menjadi sepi, apalagi kalau lebaran keluarga Semarang dan Bandung tidak bisa ketemu. Biasanya orang tuaku dan keluarga Bandung bertemu saat-saat tertentu saja, misalnya acara setahun, dua tahun, atau seribu hari untuk memperingati meninggalnya simbah. Kadang saudaraku yang di Bandung ikut acara nyadran sebelum puasa, yang diadakan masyarakat setempat di area makam. Kalau mereka datang di acara nyadran, seringnya mereka enggak mudik lagi saat lebaran.

Berhubung orang tuaku tinggal di Semarang, yang mana jaraknya ke Yogya lebih dekat dibanding Bandung, maka keluargaku yang sering pulang kampung, bermalam di Desa Cangkringan, Kabupaten Sleman. Bapakku sayang sekali dengan tempat kelahirannya yang dekat dengan Merapi itu.

Setelah malam itu, aku terbangun di pagi yang fitri. Tak banyak yang kulakukan untuk membantu merawat rumah simbah, yang kini mirip dengan markas itu. Hanya menyapu di teras dan ruang tamu agar terlihat bersih ketika ada tetangga atau kerabat datang. Menyapu sambil menikmati hangat mentari yang sinarnya menyilaukan dari sawah depan rumah simbah.

Aku bergegas menyelesaikan tugasku karena setelah sholat Ied nanti, aku akan bertemu dengan simbahku, di makam.

Tuhan, mungkin aku belum bisa membahagiakan orang-orang yang telah memberikan kehangatan di masa kecilku. Hanya doa yang kupanjatkan agar mereka dapat bahagia menjalani kehidupannya baik saat ini maupun nanti, saat kami semua tak abadi lagi.
<div style="overflow:auto; border: 5px solid #000000; margin: auto; padding: 3px; width: 90%; height: 300px; background-color: #00ffcc; text-align: left;">


Artikel ini diikutsertakan dalam A Place to Remember Give Away
<div style="overflow:auto; border: 5px solid #000000; margin: auto; padding: 3px; width: 90%; height: 300px; background-color: #00ffcc; text-align: left;">

13 comments

  1. rumah mbah tempat cucu2nya pernah bermain disitu, memang membuat rindu ya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, mak..
      Kebersamaannya juga ya, ngangenin banget :)

      Delete
  2. Waaah banget nih, mampir juga yaa ke blog saya disini http://gilaangromadhon.blogspot.com/
    Makasiih :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oke, salam kenal dan terimakasih kembali :)

      Delete
  3. adhem ayem ya Mak. salam kenal :)

    ReplyDelete
  4. Cankringan hawanya memang adem mbak, banyak sawah, dekat Merapi juga jadi bisa memandang Merapi tiap hari. Tapi klo Merapi lg gemuruh ya bahaya juga di Cangkringan, hehehe. Cangkringannya di desa mana mbak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
    2. Betul...
      Saya pernah melihat sisa abu di rumah simbah..

      Rumah simbah tepatnya dimana saya krg tau.
      Dekat SMAN1 Cangkringan, kalau gak salah ya..
      Soalnya kalo Sholat Ied di lapangan SMA terdekat..

      Delete
  5. Aaah...saya jadi kangen juga nih dengan desa simbah di Wates Kulon Progo, sayang simbah sekarang juga sudah tak ada :(

    Terima kasih sudah berpartisipasi di GA ini ya. Good luck :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak Uniek..
      Rumah Simbah memang tempat yang memorable ya..

      Selamat njuri ya, Mbak :)
      Salam kenal sesama wong Semarang :)

      Delete
  6. Oh mbak pipit juga punya simbah di jogja juga yah :)
    Wah asyk donk bisa kangen2an ama simbahnya di cangkringan

    ReplyDelete
  7. Simbah sudah nggak ada semua, Mas :(

    Btw terimakasih ya kunjungannya.

    ReplyDelete