Orang Asing Sama dengan Kita

Beberapa waktu lalu ada berita viral tentang orang asing yang kehabisan uang di Indonesia.

Menariknya, di beberapa artikel lini masa menyebutkan ada polisi yang membantu mencarikan tumpangan gratis. Bahkan artikel di sini menyebutkan kalau ada hotel yang menggratiskan biaya menginap. Nggak hanya itu saja, orang asing tersebut juga diberi oleh-oleh secara gratis. Kenapa ini bisa terjadi? Kok kayaknya orang Indonesia segitunya banget ya sama orang asing. Padahal orang asing itu sama dengan kita, lho. 

Saya yang membaca berbagai berita tersebut beneran takjub dengan kebaikan orang Indonesia. Emang sih membantu sesama itu baik, terlebih yang dibantu adalah orang yang sedang kesusahan. Tetapi ini terjadi pada bule atau orang asing. Hhmm, kalau hal ini terjadi pada turis lokal, apakah masyarakat juga akan sebaik itu?

Misal keadaan dibalik, kalau ada turis Indonesia kehabisan ongkos di luar negeri apakah akan diperlakukan sama dengan turis asing yang kehabisan ongkos tersebut? 

Kayaknya orang luar akan bertindak seperti orang Indonesia kemungkinannya kecil sekali. Yah, aturan di luar negeri sangat ketat, terutama di bagian imigrasi. Untuk masuk ke negara orang, butuh dokumen ini itu dan persyaratan yang lumayan rinci.

Stereotip masyarakat kita terhadap orang asing sangat berlebihan terutama pada bule. Dulu sih kalau sekolah ngadain darma wisata (jadul amat yak istilahnya) ke Borobudur atau ke Bali dan ketemu bule, yakin deh langsung pada rebutan minta foto. Padahal bule tersebut bukan artis atau orang terkenal. Dan, bule tersebut juga belum tentu nyaman diajak foto bareng. Hayoo, siapa yang pernah ngelakuin ini? Hahahaha, masa lalu banget ya.

Orang asing sangat menghargai privasi. Kalau kehidupan mereka terganggu atau nggak nyaman, biasanya mereka akan menolak dengan keras. Untuk kasus foto bareng, mungkin mereka nggak bisa menolak karena yang minta banyak, hahahaha. Padahal ini mungkin kali pertama bagi bule tersebut diajak foto bak selebriti. Merasakan jadi artis sebentar di Indonesia, ya nggak? Hahahaha.

Eh, tapi kenapa ya yang sering diajak foto bareng saat piknik yaitu turis yang bule. Maksudnya, mereka yang berkulit putih dan berambut pirang. Tipe umum ras kaukasoid gitulah. Kalau misalnya ada turis yang rasnya mongoloid atau bahkan negroid, apakah mereka juga sering diajak foto? Hhmm, kalian pasti tahu jawabannya.

Emang ya stereotip orang Indonesia terhadap bule atau ras kaukasoid nggak bisa lepas dari masa lalu. Di mata orang Indonesia, bule adalah orang yang makmur, kaya, dan seneng banget kalau bisa ketemu mereka. Hal ini nggak bisa disalahkan, sih. 

Mungkin saja pengaruh dari bangsa kita yang dijajah lama oleh Belanda. Rakyat kita diperlakukan sebagai budak untuk melayani para penjajah. Kita dianggap sebagai orang yang miskin. Praktik kolonialisme inilah yang mengakar pada pikiran orang Indonesia untuk memperlakukan para bule dengan berlebihan. Padahal kita semua sama derajatnya, hanya warna kulitnya saja yang berbeda. Bahkan beberapa turis yang sedang di Indonesia nggak semuanya hidup berkecukupan. 

Misalnya saja turis Australia yang liburan ke Bali. Kebanyakan sih mereka pengangguran di negara asalnya dan hidupnya dibiayai negara. Nah, sisa uang tersebut ditabung dan buat liburan ke Indonesia. Maklumlah, biaya hidup di Indonesia terbilang murah bagi mereka.

Dari Pinterest

Sebenarnya perlakuan istimewa untuk orang asing bukan terjadi di dunia traveling saja. Di dunia perkantoran pun hal ini juga sama. Saya mau cerita pengalaman di kantor pak suami.

Kantor pak suami sahamnya terdiri dari Indonesia dan Jepang. Meski demikian, kepemilikan saham terbesar ada di tangan Indonesia. Harusnya, orang Indonesia dong, yang diperlakukan istimewa. 

Kenyataannya?

Jadi, ketika ada orang Jepang yang dinas di Indonesia, mereka akan difasilitasi secara wah. Misalnya, apartemen elit di pusat kota. Bahkan orang Jepang tersebut diberi mobil beserta sopirnya. Kalau cuma staf biasa, semobil berisi 2 orang Jepang. Kalau levelnya agak tinggi, biasanya mobil dan sopir khusus untuk satu orang. Padahal nih, orang Jepang tersebut di negeri asalnya belum tentu punya sopir. Boro-boro sopir, mobil aja juga belum tentu punya. Karena aturan yang ketat soal mobil dan printilannya kayak kepemilikan SIM, dll. Belum lagi biaya parkir yang mahal. 

Tapi hal ini nggak berlaku saat pak suami dinas di Jepang. 

Sumpah, perlakuannya bedaaa banget kalau dibandingin sama mereka, dengan level yang sama. 

Pak suami di Jepang kudu mandiri. Apartemen gratis sih tapi letaknya nggak dekat kantor, agak pinggiran. Kalau dekat kantor dengan jarak 2 stasiun JR, apartemennya sempit banget dan agak kuno. Kalau di pinggiran kota, apartemennya agak bagus dan lebih luas. Saya dan pak suami pernah merasakan ini semua baik tinggal di dekat kantor ataupun agak jauhan, hahahaha.

Nah, untuk transport, pak suami nggak dapat mobil. Ya iyalah, siapa juga suami gue, ya kan? Secara, bos di Jepang aja tiap hari ngantornya naik kereta. Masak yang cuma karyawan biasa mau dapat fasilitas lebih. Apa kata orang Jepang? Hahahahaha.

Pak suami mendapat perintah detail via email tentang apa yang harus dilakukan di hari pertama masuk kerja. Isi email biasanya nyuruh bawa dokumen apa saja ke kantor dan berangkat pertama kali sama siapa. Jadi nih, waktu pertama kali masuk kerja, pak suami diajak bareng ama teman sekantornya yang tinggal di apartemen yang sama. 

Nah, cuma itu doang. Hari pertama ngantor berangkat sama teman biar tahu naik kereta apa dan turun di mana. Pas pulang kantor ya pak suami pulang sendiri. Masak iya mau ngajak bareng teman. Ish, ini Jepang, apa-apa kudu mandiri.

Beda banget kan perlakuannya? 

Yah, mungkin kalau sistem transportasi kita oke dan layak, orang asing nggak takut naik transportasi umum. Mereka akan berperilaku sama kayak tinggal di Jepang. Tapi ya nggak segitunya sih dengan ngasih fasilitas yang wah, kayak mobil plus sopir.*lah curcol, hahahaha.

Kalau apartemen, mungkin saja standar apartemen di Sudirman atau Thamrin bukan sesuatu yang mewah bagi mereka. Yah, standar hidup mereka kan juga tinggi. 

Jadi, kesimpulan postingan ini apa? Kalau ketemu orang asing, ya kita biasa aja. Nggak usah berlebihan sama mereka. Ntar mereka malah ge-er, hahahaha. Orang asing sama dengan kita, kok.


10 comments

  1. Betul sekali, orang asing sama dengan kita. Tentu kita perlu menghormati sebagai sama-sama manusia. Menghormati lebih tentu karena kebaikannya, karyanya, sama dengan orang kita.

    ReplyDelete
  2. Hahaha... Eh mbak aku pernah ke Taiwan (apa mana ya, lupa), trus masuk ke museum gitu. Orang lokalnya minta foto sama aku LOL

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha, boleh tuh pengalamanmu diceritain di blog. Mesti seru.

      Delete
  3. Bener bangeeet. Istilah Jawanya gumunan. Padahal banyak bule gelandangan juga. Waktu aku masih di Batam, banyak yg munduk2 sama orang Spore yg weekend-an di Batam. Jaman dulu informasi blm banyak. Padahal di negara asalnya, dia cuma sopir taksi. Sedangkan orang spore yg dr ekonomi menengah ke atas nggak kelayapan seperti itu. Skrg sih ya, show me the money.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mak Lus, bener banget. Oh, kalau cerita yg di Batam ini malah aku baru tau. Makasih, Mak, ceritanya.

      Delete
  4. Setuju mbak. Nggak usah bereaksi berlebihan kalo ketemu orang asing ya. Lha wong semua manusia sama. Nyetir mobilnya juga sama, sama-sama ke arah depan bukan ke belakang, wahahaha...perumpamaan apa ini?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha, perumpamaannya bikin ngakak. Eh, malah jadi inget mobil yang dua muka.

      Delete
  5. Hahaaaa ngakuuuuu, dulu sd, smp, sma aku norak bgt disuruh tigas foto ma bule sekalian latian seaking, cuma klo dipikir sekarang ihhhh ko gue gitu amat ya, paling bule yg dimintain foto terheran2 padahal cuma orang biasa kok anak2 di negeri ini sampe segitunya ngajakin saya foto....mungkin gitu dlm hati mereka

    Duhhhhh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaa, iyaaa banget. Dulu pun kalo ketemu bule di mall ato di mana, suka ta liatin. Kalo sekarang mah biasa aja.

      Delete