Cerita di Daerah Rob

17 comments
Kalau mengenang ini rasanya sedih sekali. Pernah merasakan tinggal di daerah yang airnya melimpah ruah selama puluhan tahun. Air selalu ada, di musim kemarau namanya rob, di musim hujan banjir campur rob. Saya sudah biasa dengan hal itu.

Saya juga nggak tahu kenapa orang tua dulu memilih tinggal di situ. Banyak menyebut bahwa itu daerah hitam, pantang didatangi kawan-kawan sekolah yang kece. Mereka takut. Anggapan mereka salah.

Memang karena dekat pantai orang yang tinggal di daerah tersebut ngomongnya keras tapi mereka orang baik kok. Mereka hidup sederhana. Alhamdulillah sebagian besar sekarang anak-anaknya sudah kuliah. Kalau kurang beruntung, biasanya mereka tamat SMA lalu bekerja sebagai buruh pabrik yang banyak berdiri di situ. Rumah-rumah di sana sangat padat. Jalan-jalannya sempit. Kalau ada yang bawa mobil terpaksa parkir di lapangan. 

Kadang saya selalu bilang ke orang tua kenapa nggak dijual saja rumahnya, mencari tempat yang nggak banjir. Ibu hanya menjawab sabar dan sabar. Sedangkan bapak memberi pandangan yang lain. Memang rumah bapak makin lama makin pendek. Hampir tiap 3 tahun sekali pasti ditinggikan atau diurug. Ya lama-lama pendek itu rumahnya. Panas lagi. Tapi anehnya tiap tamu kantor bapak-ibu datang, mereka bilang rumahnya gonta-ganti terus catnya. Malah dibilang variasi biar nggak bosan. Saya tahu mereka bercanda jadi ya ditanggapi santai saja.

Bapak mengajarkan saya untuk lebih bersyukur. Karena jika melihat rumah tetangga, kondisinya lebih memprihatinkan. Rumah mereka yang kecil dijejali dengan anak-menantu-cucu. Dibuat kamar per kamar. Belum lagi dindingnya yang tidak diplester atau diaci. Kata mereka, percuma diplester toh nanti bakal banjir dan diurug lagi. Bener juga sih pemikiran mereka. Sayang uangnya.

Di balik itu, saya melihat ada kegigihan yang luar biasa menjalani hidup. Mereka yang berprofesi sebagai penjual gorengan, penjual donat, tukang becak, nelayan nyatanya mampu hidup dan menyekolahkan anak mereka. Bahkan ada yang seorang buruh pabrik anaknya kuliah dan sekarang menjadi sukses. Saya selalu mengatakan hal ini kepada ibu saya. Kok bisa ya? Jika ada di posisi mereka, apa saya mampu bertahan seperti mereka?

Kehidupan di sana seru sekali. Orang mabuk dan marah-marah di malam hari sering membuat saya takut. Omongan kasar kepada istri dan keluarga keluar. Aduh Gusti, semoga mereka cepat terlelap dan tersadar. Kalau ada lagu yang sedang hits, pasti ada tetangga yang memberikan hiburan gratis. Mereka dengan baik hati membunyikan VCD kencang-kencang sebagai tanda bahwa dia sudah punya koleksi lagu tersebut. Hahaha kadang mendengarkan lagu sambil goyang India dan goyang dangdutan di rumah enak juga. Pernah saya sampai hapal urutan lagu-lagunya gara-gara sering banget diputar. 

Menggangu? Kadang. 
Terhibur? Iya.

Tukang bakso, mie ayam, mie tek tek, tukang soto langganan yang selalu dinanti. Bunyi-bunyian yang mengiringi sudah khas di telinga. Mereka sabar menunggui kami. Mereka asyik menceritakan keluarganya di kampung halaman. Mereka akan memberi tahu kalau mau absen jualan karena menengok saudara di kampung. Ah, bapak, mas, enak sekali jajanan kalian. 

Kehidupan bertetangga yang selalu berbagi dan nggak ada sekat di antara kami. Selalu bergotong royong tanpa minta ganti. Rame-rame bekerja bakti. Ah, kangen sekali suasana guyub tersebut. Alhamdulillah sampai sekarang meski sudah 6 tahun pindah orang tua selalu bersilaturahim ke sana, menyapa tetangga. Malah kalau belanja ikan seminggu sekali di pasar dekat rumah karena ikannya segar dan murah. Apalagi kedua adik saya, sering banget mereka main ke sana sendiri atau teman-temannya main ke rumah kami. Persahabatan yang indah. Untungnya, di ibu kota ini saya masih berhubungan baik dengan anak salah satu tetangga. Saling memberi kabar atau titip oleh-oleh dari daerah asal masih kami lakukan.

Hai kamu yang tinggal di daerah sana, indah sekali suasana guyub di daerahmu. Indah sekali seandainya polder berjalan baik dan menyedot air. Terimakasih, berkat kamu, saya menjadi lebih mengerti tentang arti berbagi dan bertahan.  





17 comments

  1. Yang terkenang adalah rasa gotong royong dan memasyarakat. Tentang bertetangga yang saling mengenal dan saling menyapa, sungguh sangat dirindukan. Sekarang sudah mulai jarang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul Mas, kekeluargaan sekarang sangat jarang dijumpai.

      Delete
  2. Aku juga cinta banget sama daerah tempatku tinggal :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, saya tersanjung lho Mba Indi mampir di sini :)

      Delete
  3. Jadi keinget tempat tingg waktu kecil sampe lulus kuliah. Rumah petak-petak yang dihuni pegawai pabrik, meskipun banyak drama tapi rukun sentausa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hiyaa banyak drama tapi kekeluargaannya juga dapat.

      Delete
  4. Kadang kalau kita sudah telanjur hidup didaerah itu, apapun keadaannya, kecuali diharuskan, memang ogah untuk pindah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau pindah pengen Mak, tapi kadang kangen dengan keakrabannya.
      Untungnya bapak-ibu seminggu sekali belanja ikan di sana :)

      Delete
  5. kalau sudah nyaman menskipun daerahnya gimana gitu,tetep ya senang...^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak, senang dengan suasana keakrabannya..

      Delete
  6. Hebat ya Mbak, Ibu sama Bapak.. Legowo.. Bersyukur ngga pakek ngeluh. Padahal mungkin beban dan masalah yang beliau pikul semakin berat.. Hiks..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Beb..
      Kalau anaknya ngomong pengen sesuatu, kayaknya itu mjd pikiran mereka.

      Delete
  7. Replies
    1. Rob itu banjir karena air pasang laut, mbak..

      Delete
  8. Dalam kesulitan, ada keindahan...
    Kebersamaan dan kepedulian susah dibeli ya, sekalipun ada privacy yang dikorbankan, tapi kesenangan yang kita dapat lebih dari sekedar nilai privacy itu tadi :)

    ReplyDelete
  9. Pas keSemarang yg lalu dekat RS Citarum, juga banjir bgt karena ROB mba pit

    ReplyDelete