Sore itu saya dan pak suami di rumah sakit karena saya akan melahirkan.
Saat menunggu pak suami, di pojokan saya melihat 3 orang perempuan berpelukan. Salah satu dari mereka sedang menelepon anggota keluarganya. Saya nggak tahu apa yang terjadi.
Tapi saya menduga perempuan yang sedang telepon mengabarkan berita duka ke anggota keluarganya. Saya melihat dia menangis. Dua perempuan yang lain berusaha membesarkan hatinya.
Saya terenyuh melihat kejadian tersebut dan hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk perempuan tadi.
Setelah pak suami keluar toilet, kami naik lift mengurus administrasi di lantai atas.
Di salah satu lantai, lift berhenti dan pintu terbuka. Di situ ada bacaan ruang ICU dan juga ruangan lain. Beberapa orang duduk di lantai.
Di sini saya melihat salah satu sifat manusia yaitu takut kehilangan. Wajah letih namun penuh harap. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga, dan uang untuk menunggui anggota keluarganya yang sakit.
Pekerjaan hilang atau uang habis bisa dicari. Tapi jika kehilangan anggota keluarga, itu tak tergantikan dengan apa pun.
Akhirnya saya dan pak suami tiba di kamar tempat saya istirahat. Dalam hitungan jam, saya akan melahirkan. Ada perasaan takut membayangkan proses melahirkan nanti. Padahal ini adalah kali kedua saya melahirkan.
Apakah prosesnya akan berjalan dengan lancar?
Atau sebaliknya, saya akan...
Ah, sudahlah. Saya tak mampu berpikir lebih jauh lagi. Pikiran saya campur aduk di atas ranjang.
Ranjang sebagai saksi awal kehidupan dan akhir perjalanan. Seorang bayi lahir di atas ranjang. Setelah dia tumbuh dan berkembang, ranjang pula yang jadi saksi atas hembusan napas terakhir. Di rumah sakit, maut menjemput satu per satu, bergiliran, seakan datang berjamaah. Maut datang membawa kawan-kawannya: kesedihan, kehilangan, kekhawatiran, dan kebingungan.
Namun saya dan beberapa ibu melahirkan pulang dari rumah sakit membawa kebahagiaan.
Di rumah sakit saya menyadari batas antara kehidupan dan kematian ternyata sangat tipis.