Surat untuk Kamu

Hai, kamu. Apa kabar?

Aku harap kamu baik-baik saja. Aku selalu mengkhawatirkanmu. Apalagi saat kondisi seperti ini. Tapi aku yakin kamu bisa menjaga dirimu dengan baik.

Tak terasa, ya, waktu berlalu begitu cepat. Tapi aku masih ingat malam itu. Malam pergantian tahun yang kita rayakan di kota yang sama.

Kamu datang ke kotaku. Seperti biasa, kita hanya nongkrong di kedai kopi favorit. Kedai kopi mungil yang terletak di ujung jalan. Kita selalu bercerita tentang hidup dan hal-hal lain yang membuat kita tertawa.

Aku masih ingat saat kamu bertanya mengapa aku begitu menyukai kedai kopi ini. Alasanku sederhana. Aku tidak suka keramaian. Lagi pula kedai kopi ini dekat dengan tempat tinggalku.

Aku tidak suka nongkrong di kedai kopi sejuta umat. Mereka yang nongkrong di sana hanya untuk kekinian. Mereka lebih banyak mengambil foto minuman lalu menyebarkannya di media sosial.

Sedangkan kita?

Kita hampir tidak pernah foto-foto di kedai kopi, ya. Kita terlalu sibuk bercerita karena kita sadar waktu kita sangat terbatas. Kamu di sana dan aku di sini.




Apa kamu masih ingat dengan ucapanmu di malam pergantian tahun saat itu?

Kamu bilang bahwa kita akan memasuki tahun cantik. Kamu juga menyebutkan harapan untuk hubungan kita.

Sayangnya, saat ini dunia sedang tidak baik-baik saja. Tahun ini memang beda.

Banyak sekali orang yang sudah kehilangan uang, harapan, rasa aman, serta orang-orang yang dicintai. Tahun ini sepertinya tidak secantik seperti yang kamu katakan.

Kamu selalu bilang bahwa badai tidak akan terus menerus terjadi. Badai pasti berlalu. Meski butuh waktu untuk mengembalikan itu semua.

Tapi sampai kapan badai ini akan berakhir?

Aku cuma mau bilang sama kamu.

Kita, manusia, pasti punya cara untuk bisa bertahan dalam kondisi apa pun.

Bertahanlah.

Bertahanlah di masa-masa sulit ini.

Nanti jika keadaan sudah membaik, kita bisa ketemu lagi. Kita tebus semua rindu yang saat ini hanya bisa diungkapkan lewat telepon. Kita ngobrol lagi seperti biasa di kedai kopi favorit.

Kamu baik-baik, ya, di sana. Jaga kesehatan dan jaga dompetmu supaya tidak jebol, hehe.

Nanti kita cerita lagi tentang hari ini, ya.


Aku,
Di kotaku

***

PS: Hm, saya deg-degan banget nulis ini karena kali pertama nulis fiksi di blog. Asli, ini random banget karena mikirin corona yang nggak habis-habis lalu bikin fiksi yang nyerempet corona dikit, hehe.

Jadi, boleh minta masukannya ya, Kakak. Terima kasih.😊

23 comments

  1. Saya mungkin bukan ahli tulisan fiksi mba, jadi nggak bisa kasih komentar teknis (seperti mas Agus dan mba Nita) hehe. Tapi menurut saya, tulisan mba Pipit enak untuk dibaca :D mengalir apa adanya, seenggaknya itu yang dirasakan pembaca amatir seperti saya :D

    Saya juga rindu duduk-duduk di cafe favorit, sambil menikmati desserts yang lezat :9

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kita tunggu mbak mbul saja ya mbak Eno, kalo aku belum bisa kasih masukan karena nulis ku juga masih belepotan.😊

      Mbak mbul, datanglah, datanglaahh, dataangglaaahhh...
      (Bakar menyan.😁)

      *Kaboorrrr

      Delete
    2. Aku dataaaaaaaaaang

      Hihihihhihi

      #loh kok jadi ketawa ala mba kun, pan uda dibakarin menyan hoho, oke lanjut komen di bawah

      Delete
    3. @Mba Creameno: Terima kasih, Mba. Saya masih amatir juga, kok. Dan masih belajar bikin fiksi.

      Semoga pandemi ini segera berlalu dan semuanya berjalan normal lagi. Aamiin.

      @Mas Agus: Gara-gara suka main ke blog Mas Agus, saya jadi pengen nulis fiksi juga. Tulisannya khas, lucu, kadang juga nakutin, hehe.

      @Nita: Makasih, Nit, udah datang, hehehe.

      Delete
    4. Semoga nanti bisa nulis fiksi lagi, biar aku bisa belajar sama mbak Pipit juga.😊

      Delete
    5. Aamiin, semoga saya nggak males ya, Mas. Ayo, sama2 belajar.

      Delete
  2. Udah lama saya gak belajar fiksi lagi sih, mba. Jadi bingung mo ngasih masukan apa, tapi yg jelas tulisannya ngalir, gak patah2 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Mba Rini. Saya masih baru banget bikin fiksi. Masih banyak belajar.😊

      Delete
    2. Kalo patah patah itu berarti koneksi internet nya kurang lancar, mungkin banyak yang lagi streaming.😂

      Delete
    3. Ahahaha, bener banget, Mas Agus. Saya sering susah sinyal.

      Delete
  3. Mwnurutku pribadi karya fiksi kak Pipit ini sudah bagus.
    Kaitan jarak antara intens pertemuan dengan si pacar dan jarak karena epidemi covid-19 sudah dipilah secara samar.

    Terus berkarya, kak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Mas Himawan.

      Iya, bener banget. Jarak karena LDR dan corona saya jadikan bumbu dalam cerita ini.

      Saya masih belajar bikin fiksi, Mas. Semoga nggak malas bikin fiksi di blog lagi. Doakan, ya.:)

      Delete
    2. Pasti kudoakan kusupport, kak.
      Ayok semangaat ... 💪, buang malas jauh-jauh.

      Delete
  4. Menurutku sudah bagus kok alur ceritanya, mengisahkan tentang dua sahabat yang tidak bertemu karena ada wabah penyakit.

    Kalo baca ini jadi ingat beberapa temanku yang katanya punya sahabat pena dan saling mengabari lewat surat. Deg degan kalo menunggu pak pos lewat, barang kali ada surat dari sahabat penanya. Kalo sekarang sudah tergantikan dengan SMS dan chatting.😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Mas Agus. Yup, sebelum bikin cerita ini, saya mikirin alurnya seperti apa dan jalan ceritanya biar nggak terlalu panjang. Capek juga ya ternyata bikin fiksi. Tapi seruu. Gara-gara sering baca blognya Mas Agus dan Mas Satria, saya jadi pengen nulis fiksi, nih. Hehe.

      Ah iya, masa-masa dulu menanti pak pos. Kalau saya dulu menanti kiriman kartu lebaran. Deg-degan saya bakal dapat kartu lebaran dari siapa aja, hehe. Aduh, jadi kangen pak pos.

      Delete
  5. Baguuus Kok, beneran ,,,
    INi kalau misal yang punya soulmate dikirimin beginian pasti yang baca bakalan meleleh , hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Mas Edotz. Ahahaha, ini cuma fiksi kok.:)

      Delete
  6. ini fiksi tapi kyak serasa beneran yg saya rasain mbahehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha, masa sih, Mas?

      Hm, mungkin karena saya ambil ceritanya tentang ngopi yang udah jadi lifestyle sehari-hari. Kondisi 2020 yang ada di cerita juga saya tulis berdasarkan kenyataan. Jadi cerita ini bisa dirasakan kayak kisah nyata, hehe.

      Delete
    2. secara ga langsung, kondisi yang aku alami beberapa waktu lalu ini mba hehe.

      Delete
    3. Aduh, maaf, malah jadi teringat masa lalu, ya. Hehe.

      Delete
  7. Ehemb...

    Pas baca ini, ternyata di bawah udah dilabelin fiksi,
    Tapi kalau dibaca dengan penuh penghayatan feelnya sih dapat banget mb pit, menceritakan pasangan yang ldr (sepertinya sih sudah menikah), sang lelakinya ada di kota besar yang berada di zona merah dan terjebak belum bisa pulang karena harus mencari nafkah, di samping juga ada pemberlakuan psbb

    Sang wanita, mungkin tinggal sementara di kota seberang...
    #e kok aku main tebak tebakan gini ya

    Tapi kalau dirasa rasa sih emang feelnya dapat banget, terutama karena sang wanita memberikan sedikit pesan yang tersurat di paragraf menuju akhir kelihatannya memang mencerminkan mereka berdua sudah jadi suami istri, sebab penekanannya ada di dompet jebol, nah mungkin itu punchlinenya, sehingga intinya sang suami di tanah seberang bisa berhemat walaupun masih terjebak belum bisa menyusul orang tercinta kumpul bareng

    -intinya so sweet

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Nita.

      Aku bebaskan pembaca mau berimajinasi seperti apa. Karena ini fiksi, kan. Karena aku kalau baca cerita fiksi juga bebas berimajinasi, hehe.

      Aku bikin cerita ini setelah baca caption di IG dan lihat YouTube. Semua tentang corona. Jadi aku kepikiran buat fiksinya aja, hehe.

      Waktu bikin cerita fiksi, aku memang fokus karena kan berimajinasi. Aku juga harus nyatu dalam ceritanya biar feelnya dapat. Aku masih belajar, Nita.

      Delete