Nostalgia Hajatan di Kampung

Hari gini urusan hajatan akhirnya menjadi komoditas di dunia industri. Kalau dipikir, emang sih acara hajatan banyak banget ladang yang bisa dijadikan duit. Apalagi saat ini masyarakat makin sibuk sehingga untuk mengurus sebuah acara, mereka lebih memilih memakai jasa pihak ketiga.

Kalau lagi kondangan, kadang saya teringat acara hajatan di kampung. Hm, kangen sama suasananya aja sih. Dibandingkan dengan hajatan zaman now ya beda jauh. Suasana guyub dan saling membantu saat hajatan kayaknya udah jarang saya jumpai di perkotaan. Padahal dulu saya tinggalnya di kota juga lho, haha.

Dulu tempat tinggal saya di area perkampungan di Semarang bukan di daerah perumahan atau komplek. Kehidupan di kampung tersebut bisa dibilang guyub banget. Jika ada tetangga yang kesusahan, tetangga yang lain akan membantu. Hal ini juga berlaku saat ada yang mau hajatan.


Namanya hajatan, mau sekecil apa pun bentuknya pasti memerlukan uba rampe yang nggak sedikit. Mulai konsumsi, pasang tenda, hiburan, rias pengantin, dan hal lain yang menjadi pelengkap acara tersebut.

Zaman saya kecil, jika ada tetangga punya hajat entah kawinan atau khitanan, biasanya yang punya gawe akan mengajak seorang utusan berkeliling kampung. Mereka silaturahmi dari rumah ke rumah. Mereka mendatangi rumah tetangga satu per satu tujuannya mengundang ke acara hajatan yang akan diselenggarakan.

Ini namanya bentuk ulem tradisional tanpa pakai surat undangan. Hal ini biasanya dilakukan oleh perempuan ke perempuan. Sedangkan untuk bapak-bapak biasanya tetap memakai surat undangan.

From Pixabay

Saat hari H, tanpa dikomando para tetangga akan berkumpul di rumah yang punya hajat. Yang laki-laki akan mendirikan tratag (tenda). Laki-laki baik tua atau muda akan bergotong royong mendirikan tenda. Yang pandai memanjat akan bikin simpul, yang lain membantu menyediakan tali rafia atau alat yang dibutuhkan. Teriakan para lelaki minta pisau, tali rafia, atau hanya sekadar guyon masih terngiang sampai sekarang.

Sedangkan yang perempuan biasanya rewang di bagian dapur mengurus konsumsi dari awal sampai akhir. Artinya, mereka bekerja sama di dapur dari pagi sampai sore. Kadang rewang di dapur bisa sampai berhari-hari. Yah, gimana, zaman dulu banyak sekali acaranya. Mulai dari mendirikan tenda, kenduren, acara saat hari H, bahkan setelah acara selesai, semua butuh konsumsi. Ibu-ibu bekerja sama membuat penganan, minuman, dan makan besar.

Suasana di dapur juga tak kalah heboh. Para perempuan beramai-ramai membawa pisau atau alat dapur lainnya. Mereka memasak sambil nggosip, nggibah, dan guyon. Hahaha, khas perempuan lah pokoknya. Mereka di dapur punya tugas masing-masing. Apa yang bisa dikerjakan ya dikerjakan dengan baik. Maklum, urusan konsumsi untuk orang banyak berkejaran dengan waktu.

Oia, biasanya kalau untuk menanak nasi, biasanya tuan rumah menyewa orang yang sudah ahli. Karena urusan menanak nasi agak tricky dan lumayan berat. Nggak semua orang bisa menanak nasi dengan jumlah banyak sekaligus.

Waktu remaja dulu, saya aktif mengikuti kegiatan karang taruna. Jadi saya tahu betul suasana hajatan waktu itu. Di acara hajatan biasanya remaja cewek akan berdiri di titik-titik tertentu yang dekat dengan kursi tamu. Sedangkan remaja cowok bertugas membawa konsumsi.

Uniknya, zaman dulu masih jarang prasmanan. Ah iya, ini hajatan di kampung ding, hehe. Biasanya para tamu mendapat 'piring terbang'. Jadi, tamu undangan yang datang akan mengisi buku tamu lalu dapat snack. Setelah itu mereka duduk. Nah, remaja cewek yang bertugas dekat si tamu akan ngasih kode ke remaja cowok untuk menyiapkan makanan. Biasanya makanan yang disajikan berupa nasi, acar, daging, sambal goreng, dan kerupuk udang. Tak jarang jika sesama tamu akan membantu mengedarkan makanan karena posisi duduk tamu yang sulit dijangkau. Ketika tamu selesai makan dan pulang, tugas remaja cewek dan cowok mengambil piring yang diletakkan di bawah kursi. Inilah yang dinamakan piring terbang, haha.

Jika tamu sudah nggak ada yang datang berarti acara hajatan sudah selesai. Tapi hal ini nggak berlaku bagi para tetangga. Besoknya, tetangga masih rewang. Yang laki-laki membongkar tenda sedangkan yang wanita menyiapkan konsumsi lagi.

Uniknya lagi, konsumsi yang disajikan setelah acara selesai biasanya berupa bubur sumsum. Kalau di Semarang namanya bubur kesel. Buburnya biasa aja sih cuma bubur sumsum dikasih kuah dari gula jawa atau kinca.

Konon bubur ini dibuat untuk mengobati capek setelah rewang. Hahaha, entahlah. Yang jelas tiap menerima bubur sumsum saya pasti senang karena rasanya enak.

Zaman boleh berubah. Manusia juga pasti berganti. Namun kenangan akan selalu lekat di hati. Apalagi kini saat mereka yang sudah sepuh sudah banyak yang meninggal. Sayangnya, anak zaman now sudah jarang yang melestarikan budaya bagus seperti ini. Ah, jadi kangen dengan suasana hajatan di kampung apalagi makan pakai 'piring terbang'.

Kalau boleh tahu, zaman dulu acara hajatan di tempat kalian seperti apa?

14 comments

  1. Zaman saya kecil, hajatannya mirip-mirip seperti di daerah mba. Padahal saya kecilnya juga terhitung di kota (Jakarta), tapi dulu di Jakarta masih juga tipe rumah kan masih lebih banyak yang landed bukan apartment jadi masih berbaur satu sama lainnya hehehe.

    Terus setiap kali ada hajatan, itu satu RT bisa saling bantu masak. Lalu tebar undangannya juga bisa ke satu RW, di mana biasanya satu RW itu jumlah rumahnya pun sudah ratusan hehehe. Terus jadi ingat, kalau pas tujuh belasan, pasti ibu-ibu banyak yang masak-masak untuk selamatan. Selain tujuh belasan juga ada event-event lainnya, yang sering dijadikan ajang berkumpul dan makan-makan :D

    Kalau nggak salah di tempat saya disebutnya kenduri, dikasih semacam nasi besek juga hihi jadi rindu kenangan masa kecil. Sekarang hidup di bangunan tinggi, jadi nggak kenal tetangga sama sekali. Hidup masing-masing :3 kalaupun kenal juga bukan yang sampai akrab banget, mungkin karena generasi yang sekarang (termasuk generasi saya), lebih menjunjung tinggi tingkat privacy dan individualitas masing-masing. Alhasil sudah nggak ada budaya seperti itu lagi :D

    Cuma kalau di area yang lokal, atau di pedesaan, saya rasa budaya gotong royong ini masih disimpan dan dilakukan dengan baik. Hihi, saya nggak ingat kapan terakhir kali dapat makanan kotakan seperti waktu kecil :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mba, menarik sekali infonya. Saya pikir di Jakarta dulu juga individualis lho. Eee ternyata masih guyub juga ya.

      Kalau orangnya ramah biasanya tamunya juga banyak mba. Ga cuma yang satu RW tapi juga bisa teman2 pengajian. Yang kayak gini biasanya ibu2 sih.

      Oia, kalau 17an juga gitu. Bikin nasi selametan dimakan rame2.

      Waktu saya tinggal di Semarang pas LDM ama paksu, saya masih dapat nasi kotakan. Di komplek saya di Depok juga masih ada. Tapi ya banyakan sekarang nasinya pesan di katering. Jarang yang dibikin rame2.

      Semoga ya budaya seperti ini masih ada di daerah. Nggak cuma nasi kateringan terus, hehe.

      Delete
  2. Mb piiit akuh ijin ikutan nulis tema ini hihihi

    Etapi sebenernya uda lama pingin nulis tema manten jadoel hihi

    Nek sing beda ma tempatku ga ada bubur kesel e mb pit,

    Bener tuh yg bagian nanak nasi, secara nasi rlemen paling penting, biar nda cepet basi atau keperaan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mangga, Nita, silakan. Bebaaaass, hahaha.

      Kalau bubur kesel, kadang ada yang bikin kadang juga enggak. Tergantung yang punya hajat, Nit.

      Hok o, masak nasi jumlah banyak emang susah. Orangnya pada kuat2. Pernah lho yang masak nasi bapak2.

      Delete
  3. Waaaahhh...
    Mbak, ditempatku ini sih masih ada sampai sekarang.
    Aku kalau lagi pulang kampung ada tetangga atau sodara hajatan aku masih seringlah mampir dan bebantu (nyicip) hahahaha.

    Jujur, sih meski aku ada di Bali kalau denger sodara atau tetangga kanan n kiri hajatan aku masih nitip uang buat dibawah kesitu biar tetep guyup dan wujud perhatian saja. Jauh di mata deket di hati hahahaha.

    Bubur sumsum itu rasanya yummy banget yaa...sayang bubur ini mulai jarang, Mbak dikampungku. Aku paling suka kalau mereka bikin adonan naga sari trus kan gosong lengket, nah gosongnya itu...ada aroma pandan, kebakar, ya ALLAH mengundang selerah, hahahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waaa, beruntung sekali di tempat Mba Hanila masih ada budaya seperti ini.

      Woiya, kalau denger tetangga/saudara di kampung halaman lagi ada hajat/musibah, nitip amplop bisa tetap menjaga silaturahmi.

      Mba, bikin bubur sumsum sendiri aja, hehehe. Aduuuuh, saya jadi pengen nagasari. Apalagi pakai pisang kepok.

      Delete
    2. Bubur Sumsum bikin sendiri, duh aku ini bingung ga ada yang doyan selain aku. Mau bikin seberapa gitu, Mungkin kalau ada teman-teman mau main bolehlah ya aku biking mereka bantuin makan.

      kalau Nagasari di Bali pasti pakai pisang kepok. Sama dengan pisgor. 90% pisgor di jual dengan pisang kepok. Ini di dapur juga ada pisang kepok siap goreng, hahahaha

      Delete
    3. Iya ya mba kalau bikin makanan tapi yang doyan cuma kita aja, jadi kurang semangat masaknya. Capek masak tapi nggak habis2, hahaha.

      Nah, kalau di Semarang dan Depok beda mba. Kadang pisgor, nagasari nggak pakai pisang kepok. Kalau di Depok orang jualan pisgor seringnya pakai pisang uli.

      Delete
  4. wkwkwkwkw, senyum-senyum dah saya baca piring terbang :D

    Jadi ingat keheranan saya pertama kali menghadiri nikahan di Surabaya.

    Meski waktu kecil saya nggak pernah datang ke kondangan atau resepsi nikahan atau hajatan kampung, tapi saya sering lihat, kalau di tempat saya tuh bikin hajatan biasanya kayak prasmanan gitu.

    Jadi pertama kali datang ke nikahan teman di Surabaya, saya shock waktu dikasih makan rawon yang sederhana banget yang mana nasi dan rawonnya ketutup kerupuk gede hahahaha.

    Terus teman-teman saya bilang, memang seringnya kalau hajatan kampung di Surabaya itu pakai piring terbang gitu :D

    Padahal saya udah dandan cantik dan pakai rok mini *eh hahahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oiyaaa, di Semarang juga sering ada menu rawon. Dagingnya dikit banyakan kuahnya. Dan bener, ditutupin kerupuk udang gedhe, hahaha.

      Ya Alloh Mbaaaa saya ngakak bacanya. Pengalaman kondangan di kampung nggak terlupakan ya, Mba.

      Delete
    2. wakakakakak, nah kaaannn, udahlah kuahnya banyak, ketutup krupuk pula :D

      Delete
    3. Iya, Mba. Maklum, dulu saya sering tugas karena ikut karang taruna, hehe.

      Delete
  5. saya juga berasal dari kampung...

    sekarang sudah 20 tahun tinggal di bandar namun saya selalu tetap juga pulang ke kampung

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mas. Pulang ke kampung memang sebagai pelepas rindu kepada keluarga.

      Delete