Kenangan Mudik dan Cerita Plat B

Lebaran sudah seminggu berlalu tapi blog ini masih jalan di tempat, tidak ada postingan.😂

Apa kabar teman-teman?

Saya mau mengucapkan selamat hari raya Idulfitri bagi teman-teman yang merayakan. Maaf ya, saya telat. Maklum, pemilik blog ini orangnya moody jadi ngeblog suka-suka aja.

Saya mohon maaf jika selama ngeblog atau berkomentar ada kata-kata yang kurang berkenan di hati teman-teman.🙏

Gimana lebaran tahun ini? Mudik nggak? 

Lebaran tahun ini saya dan suami memutuskan di rumah aja. Kami mengikuti imbauan pemerintah untuk nggak mudik. Toh, setelah pulang dari dinas, kami sudah bertemu dengan keluarga di Semarang.

Lebaran tahun ini beda banget, ya. Lebaran kayak nggak lebaran.😂 Kita nggak bisa ngumpul bersama keluarga besar. Jadi berasa nggak dapet momennya. Ngomongin tentang momen lebaran, yang selalu saya ingat yaitu mudik. Ini mainstream banget karena mudik sudah menjadi tradisi di Indonesia.

Saat lebaran hampir tiap orang mudik ke kampung halaman. Di jalur utama mudik selalu terjadi kemacetan. Tayangan teve dari H-7 lebaran sampai H+7 lebaran isinya mudik melulu. Bosen, hahaha.

Dulu sebelum ada tol trans Jawa, kendaraan numpuk di titik-titik rawan kemacetan. Terus terang ini yang bikin mudik jadi capek dan melelahkan. Meskipun mudik melelahkan tapi ada banyak kenangan serunya.

Waktu saya kecil, tiap lebaran kami sekeluarga mudik ke kampung halaman bapak di Yogyakarta. Desa bapak saya dekat dengan Gunung Merapi. Pemandangan depan rumah simbah berupa hamparan sawah yang ijo royo-royo.


Pemandangan di sekitar rumah simbah

Tiap lebaran, rumah simbah yang biasanya sepi jadi rame karena semua anak, mantu, dan cucu pada ngumpul. Sejak sebelum subuh, kesibukan di dapur sudah terasa. Kompor kayu dengan daun blarak sebagai bahan bakar menjadi tempat saya untuk menghangatkan diri. Percikan-percikan api kecil yang bikin sakit di kulit sering membuat saya kaget.

Bulik dan ibu bergotong royong masak bersama untuk semua anggota keluarga yang jumlahnya lebih dari 10 orang. Dapur selalu ngepul membawa aroma yang bikin perut terasa lapar. Pagi yang dingin dan segelas teh anget manis adalah kolaborasi yang sempurna. Momen makan bersama menjadi kenangan yang indah. Kami semua duduk bersila di tempat makan sederhana yang terbuat dari semen berukuran besar.

Tempat ini sebenarnya multi fungsi. Saat jam makan, bisa jadi tempat makan. Saat malam, berubah lagi jadi tempat tidur bersama. Saat rapat, tempat ini jadi tempat diskusi bersama.

Kenangan demi kenangan akan mudik kembali teringat. Betapa senangnya saya dan adik mandi di bawah air pancuran di kali. Hahaha, shower alami ala orang desa. Untuk sampai ke kali kami harus lewat pematang sawah yang sempit dan menyebrangi kali kecil.

Hamparan warna padi dan tanaman lain yang hijau serta beningnya air kali menjadi hal yang begitu menarik bagi anak kota. Kami sering bolak-balik main di kali yang sering mendapat omelan dari orangtua. Maklum, di kota nggak ada sawah dan kali.

Tiap malam, saya beserta om dan bulik suka duduk di teras sambil memandang indahnya cahaya kunang-kunang di sawah. Pemandangan yang mungkin nggak bisa dilihat oleh anak saya karena sekarang sudah tidak ada kunang-kunang.😥


Sawah depan rumah simbah

Makna mudik kurang lengkap kalau nggak bersilaturahmi dengan tetangga. Biasanya selepas salat Ied kami sekeluarga berkunjung ke rumah tetangga simbah. Ahai, ada banyak sekali jajanan tradisional yang dibikin orang desa. Ada wajik, tape ketan, rengginang, lanting, dan masih banyak lagi.

Aduh, saya jadi kangen jajanan tradisional di desa.

Saat silaturahmi, banyak obrolan dan tawa yang tercipta. Saya yang nggak kenal mereka jadi tahu sedikit tentang kehidupan dan keluarganya. Terasa hangat dan sangat kekeluargaan meski saya nggak kenal. Sepulang silaturahmi biasanya saya kenyang, hahaha. Tiap mampir ke rumah orang, dikit-dikit makan, dikit-dikit minum. Dikit-dikit lama menjadi bukit di perut, hahaha. Kalau nggak nyicip makanan si tuan rumah, kayak kurang sopan. Ada banyak makan kok dianggurin. Kan sayang.😅

Hal menarik lainnya saat silaturahmi yaitu adanya mobil plat B yang parkir di halaman. Entah kenapa kalau melihat mobil plat B berasa keren. Yah, pikiran bocah saya sering kagum dengan kendaraan plat B.

"Wuih, ada orang Jakarta. Sukses, nih," pikir saya saat itu.

Benar saja, mereka yang datang dari Jakarta logatnya kayak orang yang di teve. Penampilan mereka juga beda, lebih modern dengan pakaian dan dandanan ala ibu kota.

Setelah ratusan purnama *halah* saya jadi pemudik dari ibu kota. Meski saya nggak tinggal di Jakarta tapi Depok sebelahnya Jakarta kan ya.😂

Saya jadi tahu bahwa setiap lelah di Jakarta akan menjadi cerita yang akan dibawa saat pulang ke kampung halaman. Entah cerita yang baik atau malah sebaliknya. Saya jadi tahu, kerja keras selama setahun di Jakarta dapat terobati saat bertemu keluarga di kampung halaman.

Tak hanya bertemu namun alangkah indahnya jika bisa berbagi supaya keluarga di kampung halaman juga merasakan sedikit kebahagiaan. Merasakan sedikit kerja keras kita di ibu kota. Dengan begitu, kami sebagai perantau menyadari bahwa sebaik-baik pulang adalah kembali ke keluarga.

Mudik dan kampung halaman, tempat untuk selalu ingat asal kita. Tempat untuk mengembalikan energi setelah sebelas bulan bekerja keras. Tempat untuk menjalin benang silaturahmi dengan keluarga tercinta, karena mereka adalah harta yang paling berharga.

Kalau kamu, momen apa yang diingat saat lebaran?

14 comments

  1. Selamat hari raya mba Pipit, maaf lahir batin apabila pernah ada salah dalam berkomentar :D ehehehehe. Saya waktu kecil juga suka mudik mba, rasanya seru dan excited menjelang hari-hari ke berangkatan mau mudik :)) entah kenapa happy saja gitchuu kalau mau ketemu simbah dan keluarga besar lainnya especially sepupu-sepupu yang notabene usianya berdekatan :3

    By the way memori mudik masa kecil kita mirip bingits mba :"D saya juga ingat tungku kayu punyanya simbah untuk masak-masak diwaktu pagi datang ~ terus soal pancuran di kali pun saya sering main di kali dekat rumah simbah. Rasanya entah kenapa seru banget kalau sudah bisa main di kali hahahaha sampai dulu setiap mau berangkat mudik, saya bilang ke ortu, "Ayo cepat kita ke rumah simbah, mau mandi di kali." Sepertinya, mandi di kali itu sebuah kemewahan tersendiri :">

    Dan momen lainnya yang saya ingat itu, momen diajak ke sawah, terus momen makan buah hasil petik sendiri di kebunnya simbah, plus momen ikut simbah urus sapi sama kambing dan ayam-ayam :)) huhu jadi rindu rumah simbah habis baca tulisan mba Pipit dan komentar di sini <3

    ReplyDelete
    Replies
    1. eehhh ada si Eno hahahaha

      Huhuhu enak banget sih teman-teman bisa main ke rumah mbah.
      Saya dulu jarang, hanya setelah saya lulus atau kuliah, baru mama mau diajak main ke rumah nenek saya.

      Nenek saya banyak sih, tapi ada yang tempat tinggalnya keren banget.
      Mereka tuh tinggal di kebun, agak jauh dari jalan raya, akan tetapi lokasinya tuh kayak semenanjung gitu atau apa ya namanya? teluk ya? hahahaha

      jadi rumahnya itu dekat kebun, bakau dan laut.

      Kami bisa makan semangka yang petik langsung di kebun, makan kelapa muda dipanjatin ama anak nenek saya.
      Lalu diajak anak angkat nenek saya yang masih kecil naik perahu di laut, ya ampuuunnn saya pikir naik perahu itu mudah, ternyata susah dong, kudu diseimbangkan macam naik sepeda hahahaha

      Duh kangen ih, tapi nenek saya udah meninggal sih hiks

      Delete
    2. @Mba Eno: terima kasih, Mba Eno. Momen mudik saat kita masih kecil seru ya, Mba. Dulu seru2an main di desa sekarang jadi seru untuk dikenang, hehe.

      Saya juga rindu sama rumah simbah, Mba. Pengen ke Yogya lagi, hehe.

      @Mba Rey: terima kasih, Mba Rey. Sama2, ya. Kenangan mudik memang berkesan sekali, ya. Melihat kehidupan di desa yang masih alami dengan banyak hasil kebun menjadi kebahagiaan tersendiri.

      Saya kalau naik perahu takut banget, Mba. Tegang banget, deh. Takut kecebur karena saya nggak bisa berenang, huhu.

      Sama, Mba, simbah saya semuanya sudah meninggal. Saya jadi kangen sama mereka semua.:(

      Delete
  2. Selamat idul Fitri ya Mba Pit, mohon maaf lahir batin :)

    MAsha Allaaahh, itu pemandangannya adem banget.
    Kalau rumah ortu saya di desa tapi nggak dekat sawah sih, kebanyakan di sana, sawah dan kebun nggak dekat jalan raya, yang dekat jalan raya cuman sawah milik orang transmigrasi Bali, indah banget, jadi mirip little Bali gitu :)

    Btw, mudik memang menyenangkan ya, gimana enggak jadi tradisi.
    Orang kita-kita di Indonesia, cuman dapat duit lebih dan libur lebih saat lebaran idul fitri doang.
    Jadinya dimanfaatkan buat mudik :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama2, Mba Rey. Maaf, saya telat membalas komen, huhu.

      Iya, mba, di desa simbah masih banyak sawah meski sekarang sedikit2 sudah dibangun rumah. Jadi kaget saat ke Yogya pemandangannya agak berubah dikit.

      Wah, saya bisa membayangkan cantiknya tempat tinggal ortu Man Rey di desa.

      Ahahaha, iya ya, kita2 di Indonesia dapat lebihan pas idul fitri ya. Kalau bonus akhir tahun gimana? Hehe.

      Delete
  3. Mba pipiiit tau ga sih, aku baca ini njuk jadi pengen bikin wajik dong ahahahha
    Kemlecer pas liat macem macem penganan khas, salah satunya obsesiku pengen bikin wajik, beli beras ketane sih udah, tapi kok ga dieksekusi eksekusi mulu mbooolll ahahhaha


    Ehmm, aku malah sejenak membayangkan desa tempat mbahnya mba pit, deket sawah, kali yang ada pancurannya, banyune bening, seger banget...ciblon juga aku klo liat kalen begitu hahahha

    Belum suasana rumahe mirip2 tempat almarhum mbah buyutku
    Pawonnya klo tempat alm. Mbah buyutku juga masih tradisional mba, lantai tegel ama tanah, pake tungku n kayu bakar serta genen blarak juga mbaaa, kadang aku ingat loh pas masih kecil diajakin bapak ke tempat mbah buyut itu terus liwat tempat yang buat nyimpam kayu bakar eeee malah ketemu ular, gilo dong aku wahhahaha
    Tapi senengnya kalau di tempat mbah buyut ini pohon buah buahannya banyak. Ada jambu mete, jambu kluthuk, kelengkeng...serasa surga nek pas agi panen.

    Sekarang rumahe alm. Mbah buyutku kosong...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, Nita bisa bikin wajik, ya. Kok aku jadi ikutan pengen.

      Ya Alloh, lama banget nggak denger kata 'ciblon' hehe. Iya, asyik banget ya suasana kayak gitu. Adem, ayem, tentrem, hidup di desa.

      Oia, aku juga pernah nemu ular di susunan blarak. Ngeri deh kalau gitu. Jejeritan pastinya, huhuhu.

      Sama, Nit, rumah simbahku juga sepi. Tapi digunakan tetangga simbah yang masih sodaraaan sih. Dipakai buat tempat kerja bikin mebel.

      Delete
  4. Selamat lebaran mba Pipit dan keluarga..

    Tahun ini ga rame2 solat ied dan gak rame2 kemakam, padahal dekat rumah. Kami patuh stay at home saja lebarannya, adik yang beda keluarahannya aja hanya via ZoomCall saja, biasanya ke Semarang nengokin kaka ipar dan keluarganya dan keseruan perjalanan darat lebaran yang selalu berkesan...

    Moga2 Pndemi segera berlalu ya.

    Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama2, mba Fitri. Maaf, ya, saya telat membalas komen. Maklum, lagi malas ngeblog, hehe.

      Lebaran kali ini kayaknya hampir semuanya sama, ya. Pada di rumah dan nggak ke mana2.

      Aamiin, semoga pandemi segera berlalu.

      Delete
  5. Selamat hari raya idul Fitri mbak Pipit, mohon maaf lahir dan batin kalo ada salah kata dalam ngeblog selama ini.🙏

    Sama, saya tahun ini juga ngga mudik karena ada Corona, jadinya lebaran memang seperti tidak lebaran.

    Kalo momen lebaran yang aku ingat malah saat mudik seringnya terjebak macet, bahkan waktu bujangan dulu pernah karena pengin sekali mudik tapi bis kursinya sudah penuh maka dari Jakarta sampai Tegal aku berdiri terus mbak, dan biasa tetap macet, kaki jadi amsyiong.😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama2, Mas Agus. Maaf, ya, saya telat membalas komen.

      Iya, lebaran kali ini kayak nggak lebaran. Nggak berasa momennya.

      Ah, saya juga pernah naik bus pas mudik. Waktu awal2 di Jakarta karena waktu itu masih penyesuaian dengan kantor baru. Cuma waktu itu saya nggak tahan AC bisnya. Sampai Semarang, saya masuk angin, huhuhu.

      Delete
  6. Asik banget baca hal kayak gini. Aku sendiri nggak pernah mudik karena nggak punya kampung halaman, jadi waktu baca hal kayak gini tuh hangat sekali, apalagi lihat foto hamparan sawah dan membayangkan jernihnya air kali di kampung, duhh asri dan indah banget pasti. Langsung berasa lagi hirup udara segar ini #haluu

    Semoga tahun depan semua ini udah berlalu ya kak, sehingga bisa balik mudik lagi :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mba Lia. Kehidupan di desa masih asri dan alami jadi bikin betah karena polusinya nggak sebanyak di kota.

      Aamiin, semoga pandemi segera berlalu dan kehidupan kembali normal.😊

      Delete
  7. samaan mbak, tahun lalu lebaran kayak nggak berasa lebaran, beda banget feel-nya.
    yang dikangeni kalau udah kumpul, adalah guyonan, ketemu sama sepupu-sepupu. Dan sama seperti keluarga besar mbak Pipit, kalau udah kumpul pas lebaran, ruang tamu disulap jadi tempat tidur massal :D
    tidur beralas tikar udah jadi pemandangan tiap hari raya begini
    tapi seru juga hahaha

    ReplyDelete